Oleh :
M SYAMSUL HIDAYAT
Perhelatan akbar dalam 1,5 tahun mendatang akan dimulai dengan panggung politik yang cukup meriah yakni momentum pemilu 2009. walaupun perhelatan akbar tersebut masih dirasa cukup lama namun, gaungnya sekarang sudah terasa. Terbukti partai-partai politik sudah melakukan konsolidasi dan pertemuan rutin merumuskan agenda-agenda partai demi mengikuti pemilu kedepan. Partai-partai politik (parpol) barupun mulai bermunculan ibarat jamur dimusim hujan. Dari pemilu sebelumnya sampai sekarang eksistensi munculnya parpol selalu mengalami eskalasi yang cukup berarti. Mereka berlomba-lomba untuk merndapatkan legitimasi mana parpol yang paling terpercaya, paling hebat, paling unggul, dan paling kuat.
Ketua komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary memperkirakan 50 partai politik akan ikut pemilu 2009. kalau prediksi ini benar, jumlah parpol yang akan ikut dalam pemilu 2009 lebih banyak daripada tahun 1999, yakni 48 parpol dan pemilu 2004 sebanyak 24 parpol. Lahirnya partai politik baru bisa dipandang sebagai perwujudan hak berserikat yang selama orde baru dipasung. Begitu orde baru jatuh, 141 parpol mendaftar di departemen kehakiman, kemudian 106 terdaftar di KPU, dan 48 parpol ikut pemilu 1999. pada tahun 2004, sebanyak 112 parpol terdaftar di departemen kehakiman, 50 terdaftar di KPU, dan 24 parpol ikut dalam pemilu 2004. dari 24 parpol itu, tujuh parpol yang bisa meloloskan wakilnya di DPR pusat (kompas,06/11/2007). Kran demokrasi telah dibuka selebar-lebarnya sehingga memungkinkan banyak orang membuat parpol sebagai ladang menyalurkan aspirasi dalam platform politik praktis.
Pertarungan antar parpol dengan berbagai cara baik melalui forum-forum diskusi politik, kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat, acara keagamaan yang sekaligus sebagai promosi partai terlihat sudah mengeliat demi mendapatkan pengaruh dari konstituen (rakyat). Tradisi menjelang pemilu biasanya eforia politik memuncak yang kemudian berkumadang pesta demokrasi dimana konstituen nantinya sebagai alat legitimasi bagi calon-calon yang duduk dalam struktur kekuasaan.
Melalui parpol yang dijadikan kendaraan politik, berlomba-lomba merebut hati konstituen bahkan dapat dimungkinkan prinsip Machievillian, menghalalkan segala cara apapun secara kejam dan licik untuk memperoleh kedudukan juga akan dilakukan. Apalagi kalau kita memperhatikan bahwa kecenderungan politik masa kini ada empat cirri-ciri yakni pertama, Politik uang ( money politic) . iming-iming dari parpol kepada massa berupa pemberian materi kerap dilakukan banyak parpol agar kuantitas suara dapat mendongkrak partai mereka. Kedua, Primordialisme partai.
Masing-masing partai mengklaim dirinya partai yang paling bersahaja, paling unggul dan paling benar dalam membawa aspirasi rakyat. Ketiga, Munculnya politisi instan. Para politisi instan yang dikader secara ‘prematur” melalui parpol sehingga pragmatisme individu yang lebih dominan daripada mengutamakan kepentiingan umum (massa-rakyat) . Keempat, sikap hipokrit. Sikap munafik yang kadang ‘lain dibibir lain dihati’ masih menjadi siasat politik masa kini.
Memang dimanapun kekuasaan menjadi lahan mengiurkan bagi semua orang sampai ada adagium kekuasaan adalah “a net and a fish” yaitu ibarat jala dan ikan sekaligus artinya dengan kekuasaan dapat meraih yang namanya kekayaan, kebanggaan, kedudukan, dan kehormatan. Nampaknya banyak kader-kader parpol mengikuti konsepnya Nietzsche dalam bukunya The Will to Power yang menganjurkan manusia berhendak untuk berkuasa agar menjadi agung. Keagungan itu hanya dapat diraih ketika manusia berkuasa yang implikasinya memperoleh kekuatan, kecerdasaan, dan kebanggaan.
Sangat disayangkan bila cara berpikir para politisi parpol demikian yang tidak melahirkan sebuah kesadaran bagaimana menjawab keprihatinan bangsa seperti kemiskinan, pengangguran, pengusuran dan lain sebagainya. Animo masyarakat yang memiliki harapan besar kepada parpol sebagai penyambung lidah aspirasi, sudah mulai apatisme akan eksistensinya selama ini. Karena, fakta berbicara bahwa sekian puluh tahun repreesentasi konstituen ini, belum bisa membuat public percaya akan janji-janji kosong yang dikibarkan melalui para kader parpol di level kekuasaan. Titik jenuh massa-rakyat dengan sendirinya bergerak kearah apolitis, tidak tahu-menahu tentang urusan konstelasi politik. Hal demikian akan sangat membahayakan bila konstituen menutup mata terhadap politik yang berdampak kekuasaan Negara tidak ada kredibilitas dan wibawa.
Keterasingan parpol dari konstituen adalah bentuk anomali demokrasi yang sebenarnya justru demokrasi harus mampu merepresentasikan massa-rakyat dalam kancah politik. Menurut Lembaga Survei Indonesia menyimpulkan bahwa problem keterasingan parpol oleh pemilihnya karena lebih dari 65 persen pemilih merasa tidak terwakili aspirasi oleh parpol.
Sistem demokrasi akan berjalan secara efektif dan tangguh apabila melibatkan massa-rakyat dengan mengedepankan aspirasi, keinginan, harapan dan kepentingan mereka. Loyalitas dan komitmen konstituen terhadap parpol senantiasa menaruh perhatian untuk menegakkan system demokratisasi yang populis. Semakin parpol mampu mewakili kehendak rakyat maka penegakan supremasi demokrasi memungkinkan bekerja sesuai harapan kita semua.
Masa Pemimpin Muda
Sistem kekuasaan saat ini bisa dibilang sangat rapuh dan di dominasi oleh generasi-generasi tua yang tetap masih bertahan dengan status quo-nya. Pemimpin-pemimpin tua hendaknya sudah mulai menyadari diri bahwa perjuangan bangsa ini untuk menjadi bangsa besar harus segera diserahkan tampuk kepemimpinan pada generasi yang lebih muda. Suatu warna baru bila banyak para generasi penerus menjadi pemimpin-pemimpin muda yang lebih semangat, kritis, dan progresif dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan yang kian komplek. Para pemimpin tua akan lebih arif dan bijaksana jika melihat tantangan bangsa kedepan jauh lebih sulit yang akan dihadapi.
Maka, sangat dibutuhkan bagaimana peran kepemimpinan muda dimasa depan. Para pemimpin tua tidak harus menganggap bahwa pemimpin muda belum layak untuk memimpin bangsa ini justru memberikan kesempatan bagi generasi muda memegang atau mengelola tampuk kekuasaan. Ini bukan berarti bahwa pemimpin muda mengemis meminta jabatan dan mengantikan seluruh posisi para pemimpin tua. Kesempatan yang besar dibuka selebar-selebarnya pada pemimpin muda untuk berkembang secara progresif agar mempunyai kontribusi memecahkan problematika bangsa.
Bangsa ini telah banyak diterpa berbagai macam krisis multidimensional dan tidak cukup hannya dengan perubahan sesaat dengan tambal sulam, reformasi parsial atau dalam konsep continues improvement saja. Tetapi butuh lompatan tajam dalam kapasistas reformasi total bahkan bila perlu kaum muda menjadi perintis perubahan bangsa. Kita tentu diingatkan oleh Friedrich Van schiller yang mengatakan bahwa : zaman dan massanya besar, tetapi bagaimana manusianya? Besar ataukah kerdil? Zaman besar perlu pemikir, pelaksana, elite, lapisan pemimpin dan para pemimpin besar pula. Maksudnya bahwa dibutuhkan figure-figur kepemimpinan yang kuat, integritas, kredibilitas dan kapabilitas yakni para pemimpin muda. Masanya generasi muda menciptakan zaman besar berupa pemikiran mengatasi kondisi bangsa yang telah akut dari persoalan-persoalan besar yang belum tuntas. Bangsa ini akan menjadi bangsa besar apabila banyak dikelola oleh tangan-tangan pemimpin muda.
Generasi pemimpin tua selayaknya mampu mentransformasikan gagasan-gagasan kepada calon-calon pemimpin muda untuk mengemban amanah bangsa. Para pemimpin muda dapat belajar dari pengalaman para pendahulunya tidak sebatas tebar pesona-obral janji dan hanya menjadi ahli retorika semu terhadap konstituen terutama menjelang pemilu. Maka dalam hal itu, Jalaludin Rahmat pernah mengutip Wayne. B yang membedakan tiga jenis ahli retorika ialah Pertama, Pemerkosa retoris, melihat massa sebagai objek atau korban atau manusia rendahan yang harus yang harus digiring ke sasaran yang dikehendakinya. Sikapnya terhadap khalayak adalah superioritas, dominasi, pemaksaan dan kecaman. Kedua, Perayu retoris. Ia melihat massa sebagai sasaran rayuan maut. Sikapnya terhadap khalayak bersifat tidak tulus, mempesona, merayu, dan tidak acuh terhadap identitas, integritas, dan rasionalitas khalayak. Ketiga, Pecinta retoris. Inilah pelaku dialog.
Ia melihat khalayak sebagai mitra. Hubungannya dengan massa di dasarkan kepada penghormatan, persamaan, dan kesiapan untuk mengubah diri, keterbukaan pada gagasan baru, kesediaan untuk menerima kritik, dan keinginan tulus untuk memberikan pilihan bebas kepada orang lain.Harapannya bahwa Para pemimpin muda mampu menjadi yang ketiga yakni pecinta retoris, yang tidak sekedar janji-janji bohong kepada konstituen. Parpol sejak dini menyiapkan calon-calon pemimpin muda menjadi pecinta retoris yang benar-benar komitmen berjuang untuk rakyat banyak. Rakyat sebenarnya sudah letih terus menerus dikhianati dengan janji palsu oleh para pemimpin sebelumnya. Pemimpin muda harus belajar dari hal itu supaya jangan mengulangi untuk yang kedua kali kepada khalayak. Semoga.
*Ketua Umum HMI (MPO) Cabang Jogjakarta dan Direktur Mata Air Training Center (MAT-C) Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar